Minggu, 01 September 2013

Santri Versus Abangan


Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa muslim yang mempraktikan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan Animisme.
Pada awalnya Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedangang dari Gujarat, India. Walaupun Islam menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi Islam di Indonesia telah terputus dari pusat pancarannya di timur tengah, Mekkah dan Kairo. Akibatnya, umat Islam di Indonesia tetap saja banyak dipengaruhi oleh kultur Hindu-Jawa.
             Barulah pada menjelang pertengahan abad sembilan belas isolasi Islam Indonesia dari timur tengah itu mulai pecah dengan datang pedagang-pedagang Islam dari ujung selatan Semenanjung Arab, Hadramaut. Mereka menyiarkan pengertian ortodoksi mereka yang bagus kepada para pedangang setempat yang terikat hubungan perdagangan dengan mereka. Namun demikian, arus ke arah ortodoksi dalam fase ini adalah lambat. Persaudaraan keagamaan diwarnai secara mistis dimana diperolah suatu kompromi tertentu dengan kaum abangan di satu pihak.

          Dengan didirikannya Muhammadiyah telah membangunkan gerakan-gerakan konservatif untuk melawan apa yang mereka anggap penyimpangan yang berbahaya dari doktrin Islam zaman pertengahan.

Perbedaan Umum

Dalam melakukan penelitiannya mengenai Islam Indonesia khususnya di Jawa ini, akhirnya Geertz memperolah dua perbedaan yang sangat mencolok dari santri dan abangan. Ia mengatakan bahwa kaum abangan sangat tidak mempedulikan doktrin-doktrin agama dan lebih senang melarutkan diri dalam detail ritual. Sedangkan santri sebaliknya menjadikan doktrin sebagai pegangan utama dalam kehidupan dan memberikan sikap yang tak toleran secara tegas kepada praktik keuparacaan. Peribadatan, bagi santri adalah hal sederhana saja, yang terpenting menurut merekan adalah doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya. Kaum santri di perkotaan nampaknya sangat tertarik untuk menjadikan doktrin Islam sebagai kode etik yang lebih tinggi bagi orang modern, sebagai doktrin sosial yang cocok untuk masyarakat modern. Santri di pedesaan, walaupun tidak seekstrem santri di perkotaan, tetap saja memiliki sikap sama. Betapapun kaburnya. Kaum abangan beranggapan sikap mereka tidak jauh berbeda dengan para ahli etnologi pecinta budaya yang mengumpulkan adat tua tentang penyembahan berhala. Kaum santri menanggapinya justru dengan titik berat yang kuat pada keharusan iman dan keyakinan yang tanpa reserve terhadap kebenaran mutlak agama islam serta menentang dengan tegas praktek kejawen.

            Perbedaan kedua yang tampak jelas antara varian keagamaan abangan dan santri terletak dalam kesatuan sosialnya. Unit sosial yang yang paling dasar bagi abangan adalah rumah tanggan. Dalam unit sosial itulah tempat ritual peribadatan dilakukan. Bahkan dalam acara bersih desa yang merupakan acara publik pun, rumah tanggan tetap yang terutama. Penganan yang disajikan dalam acara itu diperoleh dari masing-masing daput setiap rumah tangga yang dijadikan satu. Bukan dihasilkan dari satu dapur yang diolah bersama-sama. Tidak ada hal lain dalam acara publik itu, kecuali keharusan datang dengan membawa penganan dari dapur sendiri. tidak ada perkauman keagamaan yang organis. Yang ada hanya serangkaian rumah terpisah yang dirangkai satu sama yang lain dan menjadi kauman bersama tanpa sekat, dan harmoni mereka bertahan sejak semula dengan satu tradisi tunggal.

            Sebaliknya, rasa perkauman –terhadap umat- dalam masyarakat santri adalah yang utama. Unit sosial mereka adalah komunitas. Lebih besar dari sekedar rumah tangga. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris serta terikat dalam doktrin agama. Semua manusia di Mata Tuhan adalah sama dan sederajat. Terdapat jurang pemisah yang mutlak untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan dan oleh karena itu hanya terbatas pada kitab dari para Nabi, dan khususnya dari Quran dan Hadist. Untuk mengenal Tuhan, kaum santri mengikatkan diri menjadi suatu kaum menurut hukum, yang ditentukan oleh ketaatannya kepada serangkaian hukum objektif yang didasarkan atas wahyu Allah yang telah dipertimbangkan kesesuaiannya untuk dikomunikasikan kepada manusia. Tak ada seorangpun yang nampak lebih tinggi derajat keagamaannya, tetapi terdapat guru ataupun mereka yang memiliki lebih banyak ilmu. Hukum adat yang lebih fleksibel dalam praktek cenderung lebih menarik bagi abangan maupun santri. Namun demikian, santri memiliki gambaran yang riil tentang suatu masyarakat nyata yang diatur oleh sistem hukum objektif.

            Adanya perhatian terhadap masyarakat ini yang menunjukkan bahwa selain ketertarikan santri akan doktrin, mereka tak pernah memandang bahwa agama hanya urusan kepercayaan saja. Atau semacam filsafat. Sebaliknya mereka senantiasa memahami Islam sebagai agama yang dilembagakan  dalam kelompok sosial. Berbicara akan Islam berarti berbicara tentang organisasi sosial dimana kepercayaan Islam menjadi elemen yang mendasari dan menentukannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya, jangan lupa komentar yah.