Minggu, 01 September 2013

Santri Versus Abangan


Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa muslim yang mempraktikan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan Animisme.
Pada awalnya Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang-pedangang dari Gujarat, India. Walaupun Islam menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi Islam di Indonesia telah terputus dari pusat pancarannya di timur tengah, Mekkah dan Kairo. Akibatnya, umat Islam di Indonesia tetap saja banyak dipengaruhi oleh kultur Hindu-Jawa.
             Barulah pada menjelang pertengahan abad sembilan belas isolasi Islam Indonesia dari timur tengah itu mulai pecah dengan datang pedagang-pedagang Islam dari ujung selatan Semenanjung Arab, Hadramaut. Mereka menyiarkan pengertian ortodoksi mereka yang bagus kepada para pedangang setempat yang terikat hubungan perdagangan dengan mereka. Namun demikian, arus ke arah ortodoksi dalam fase ini adalah lambat. Persaudaraan keagamaan diwarnai secara mistis dimana diperolah suatu kompromi tertentu dengan kaum abangan di satu pihak.

          Dengan didirikannya Muhammadiyah telah membangunkan gerakan-gerakan konservatif untuk melawan apa yang mereka anggap penyimpangan yang berbahaya dari doktrin Islam zaman pertengahan.

Perbedaan Umum

Dalam melakukan penelitiannya mengenai Islam Indonesia khususnya di Jawa ini, akhirnya Geertz memperolah dua perbedaan yang sangat mencolok dari santri dan abangan. Ia mengatakan bahwa kaum abangan sangat tidak mempedulikan doktrin-doktrin agama dan lebih senang melarutkan diri dalam detail ritual. Sedangkan santri sebaliknya menjadikan doktrin sebagai pegangan utama dalam kehidupan dan memberikan sikap yang tak toleran secara tegas kepada praktik keuparacaan. Peribadatan, bagi santri adalah hal sederhana saja, yang terpenting menurut merekan adalah doktrin Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya. Kaum santri di perkotaan nampaknya sangat tertarik untuk menjadikan doktrin Islam sebagai kode etik yang lebih tinggi bagi orang modern, sebagai doktrin sosial yang cocok untuk masyarakat modern. Santri di pedesaan, walaupun tidak seekstrem santri di perkotaan, tetap saja memiliki sikap sama. Betapapun kaburnya. Kaum abangan beranggapan sikap mereka tidak jauh berbeda dengan para ahli etnologi pecinta budaya yang mengumpulkan adat tua tentang penyembahan berhala. Kaum santri menanggapinya justru dengan titik berat yang kuat pada keharusan iman dan keyakinan yang tanpa reserve terhadap kebenaran mutlak agama islam serta menentang dengan tegas praktek kejawen.

            Perbedaan kedua yang tampak jelas antara varian keagamaan abangan dan santri terletak dalam kesatuan sosialnya. Unit sosial yang yang paling dasar bagi abangan adalah rumah tanggan. Dalam unit sosial itulah tempat ritual peribadatan dilakukan. Bahkan dalam acara bersih desa yang merupakan acara publik pun, rumah tanggan tetap yang terutama. Penganan yang disajikan dalam acara itu diperoleh dari masing-masing daput setiap rumah tangga yang dijadikan satu. Bukan dihasilkan dari satu dapur yang diolah bersama-sama. Tidak ada hal lain dalam acara publik itu, kecuali keharusan datang dengan membawa penganan dari dapur sendiri. tidak ada perkauman keagamaan yang organis. Yang ada hanya serangkaian rumah terpisah yang dirangkai satu sama yang lain dan menjadi kauman bersama tanpa sekat, dan harmoni mereka bertahan sejak semula dengan satu tradisi tunggal.

            Sebaliknya, rasa perkauman –terhadap umat- dalam masyarakat santri adalah yang utama. Unit sosial mereka adalah komunitas. Lebih besar dari sekedar rumah tangga. Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris serta terikat dalam doktrin agama. Semua manusia di Mata Tuhan adalah sama dan sederajat. Terdapat jurang pemisah yang mutlak untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan dan oleh karena itu hanya terbatas pada kitab dari para Nabi, dan khususnya dari Quran dan Hadist. Untuk mengenal Tuhan, kaum santri mengikatkan diri menjadi suatu kaum menurut hukum, yang ditentukan oleh ketaatannya kepada serangkaian hukum objektif yang didasarkan atas wahyu Allah yang telah dipertimbangkan kesesuaiannya untuk dikomunikasikan kepada manusia. Tak ada seorangpun yang nampak lebih tinggi derajat keagamaannya, tetapi terdapat guru ataupun mereka yang memiliki lebih banyak ilmu. Hukum adat yang lebih fleksibel dalam praktek cenderung lebih menarik bagi abangan maupun santri. Namun demikian, santri memiliki gambaran yang riil tentang suatu masyarakat nyata yang diatur oleh sistem hukum objektif.

            Adanya perhatian terhadap masyarakat ini yang menunjukkan bahwa selain ketertarikan santri akan doktrin, mereka tak pernah memandang bahwa agama hanya urusan kepercayaan saja. Atau semacam filsafat. Sebaliknya mereka senantiasa memahami Islam sebagai agama yang dilembagakan  dalam kelompok sosial. Berbicara akan Islam berarti berbicara tentang organisasi sosial dimana kepercayaan Islam menjadi elemen yang mendasari dan menentukannya.


SEKILAS TENTANG LAGU DAERAH JAWA "GUNDUL-GUNDUL PACUL"

Tembang Jawa ini diciptakan tahun 1400 an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yg dalam dan sangat mulia.


LIRIK DARI LAGU DAERAH JAWA "GUNDUL-GUNDUL PACUL"

Gundul gundul pacul-cul,gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang
segane dadi sak latar

MAKNA FILOSOFIS DARI LAGU DAERAH JAWA "GUNDUL-GUNDUL PACUL"

Gundul: adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Maka gundul artinya kehormatan yang tanpa mahkota.

Sedangkan pacul: adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul: adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani.


Gundul pacul artinya: bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (empat yang lepas).Artinya bahwa: kemuliaan seseorang akan sangat tergantung empat hal antara lainbagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.


1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat.
2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata-kata yang adil.

Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.

Gembelengan artinya: besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat. Tetapi dia malah:

1. Menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya.
2. Menggunakan kedudukannya untuk. berbangga-bangga di antara manusia.
3. Dia menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya.

Nyunggi wakul, gembelengan Nyunggi wakul artinya: membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya.Banyak pemimpin yang lupa bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya. Wakul adalah: simbol kesejahteraan rakyat. Kekayaan negara, sumberdaya, Pajak adalah isinya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat. Kedudukannya di bawah bakul rakyat. Siapa yang lebih tinggi kedudukannya, pembawa bakul atau pemilik bakul? Tentu saja pemilik bakul. Pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya. Dan banyak pemimpin yang masih gembelengan (melenggak lenggokkan kepala dengan sombong dan bermain-main). Akibatnya; Wakul ngglimpang segane dadi sak latar Bakul terguling dan nasinya tumpah ke mana-mana. 

Jika pemimpin gembelengan, maka sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia tak terdistribusi dengan baik. Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang tumpah di tanah tak akan bisa dimakan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat









PILIHLAH ORANG YANG PEDULI PADAMU


Pilihlah seseorang...

Yang mampu merasakan kesedihanmu dibalik senyumanmu...

Yang mampu mengerti pikiranmu disaat engkau terdiam...

Yang mampu merasakan kasih sayangmu disaat kemarahanmu...

Karena dialah yang bisa mengerti tentang dirimu...

Terkadang engkau harus berlari jauh...

Agar engkau tahu siapa yang akan datang kepadamu...

Terkadang engkau harus berbicara pelan...

Agar engkau tahu siapa yang masih mau mendengarkanmu...

Terkadang engkau harus melibatkan diri kedalam sebuah perbedaan...

Agar engkau tahu siapa yang masih akan membelamu...

Terkadang engkau harus mencoba mengambil keputusan yang kurang tepat...

Agar engkau tahu siapa yang akan menunjukkanmu keputusan yang benar...

Terkadang engkau harus melepaskan orang yang sangat engkau cintai...

Agar engkau tahu apakah dia akan kembali setia di sisimu...

Sesungguhnya...

Ketika kita pergi bersembunyi hanyalah untuk ditemukan...

Ketika kita berjalan jauh hanyalah untuk melihat siapa yang masih setia mengikuti...

Ketika kita menangis agar kita tahu siapa yang dengan ikhlas menghapus air mata kita...

Dan dialah sebenarnya yang masih mempedulikan kita...

Yang akan membuat hidupmu berbalut bahagia penuh senyuman...

Keep Smile :)

Indahnya Ukhuwwah





Karena beda antara kita sering jadi sengketa, karena kehormatan diri sering kita tinggikan di atas kebenaran, karena satu kesalahan saja seolah menghapus sejuta kebaikan yang lalu. wasiat Rasulullah itu rasanya berat sekali: "Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara", mungkin lebih baik sejenak menjadi kepompong dan menyendiri berdiri malam-malam, bersujud dalam-dalam, bertafakur bersama iman yang menerangi hati, hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu yang terbang menari melantunkan kebaikan, dalam dekapan ukhuwwah.
Maaf untuk semua...

Asal Mula Kabupaten Bekasi


Dalam catatan sejarah, nama "Bekasi" memiliki arti dan nilai sejarah yang khas. Menurut Poerbatjaraka, seorang ahli bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Asal mula kata Bekasi, secara filosofis, berasal dari kata Chandrabhaga. Chandra berarti "bulan" (dalam bahasa Jawa Kuno, sama dengan kata Sasi) dan Bhaga berarti "bagian". Jadi, secara etimologis kata Chandrabhaga berarti bagian dari bulan. Kata Chandrabhaga berubah menjadi Bhagasasi yang pengucapannya sering disingkat menjadi Bhagasi. Kata Bhagasi ini dalam pelafalan bahasa Belanda seringkali ditulis "Bacassie" kemudian berubah menjadi Bekasi hingga kini. terbentuknya Kabupaten Bekasi dimulai dengan dibentuknya "Panitia Amanat Rakyat Bekasi" yang dipelopori R. Supardi, M. Hasibuan, KH. Noer Alie, Namin, Aminudin dan Marzuki Urmaini, yang menentang keberadaan RIS- Pasundan dan menuntut berdirinya kembali Negara Kesatuan RI. Selanjutnya diadakan Rapat Raksasa di Alun-alun Bekasi yang dihadiri oleh sekitar 40.000 orang rakyat Bekasi pada tanggal 17 Pebruari 1950. Menyampaikan tuntutan Rakyat Bekasi yang berbunyi : 
1. Penyerahan kekuasaan Pemerintah Federal kepada Republik Indonesia.
2. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Republik Indonesia.
3. Tidak mengakui lagi adanya pemerintahan di daerah Bekasi, selain Pemerintahan Republik Indonesia.
4. Menuntut kepada Pemerintah agar nama Kabupaten Jatinegara diganti menjadi Kabupaten Bekasi.

Upaya para pemimpin Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak terus dilakukan. Diantaranya mendekati para pemimpin Masjumi, tokoh militer (Mayor Lukas Kustaryo dan Moh. Moefreini Mukmin) di Jakarta. Pengajuan usul dilakukan tiga kali antarambulan Februari sampai dengan bulan Juni 1950 hingga akhimya setelah dibicarakan dengan DPR RIS, dan Mohammad Hatta menyetujui penggantian nama "Kabupaten Jatinegara" menjadi "Kabupaten Bekasi ". Persetujuan pembentukan Kabupaten Bekasi semakin kuat setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950. Kabupaten Bekasi secara resmi dibentuk dan ditetapkan tanggal 15 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Kabupaten Bekasi. Selanjutnya pada tanggal 2 April 1960 Pusat Pemda Bekasi semula dipusatkan di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta, Jakarta) dipindahkan ke gedung baru Mustika Pura Kantor Pemda Bekasi yang terletak di Bekasi Kaum JI. Jr. H. Juanda.

semoga bermanfaat sobat...

MAKNA FILOSOFIS LAGU LIR-ILIR


Lir ilir lir ilir tandure wong sumilir
Tak ijo royo royo
Tak sengguh penganten anyar

Bocah angon bocah angon penekno blimbing kuwi

Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro dodotiro kumintir bedah ing pinggir
Dondomono jrumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung padang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Yo surak’0 surak hiyo


·         Makna yang terkandung lagu di atas adalah sbb:
1.     Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
2.     Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
3.     Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
4.     Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)

Makna: Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.

1.     Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
2.     Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
3.     Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
4.     Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)

Makna: Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.

1.     Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
2.     Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
3.     Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
4.     Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)

Makna: Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.

1.     Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
2.     Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
3.     Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)

Makna: Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas  ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!! Lir ilir, judul dari tembang di atas. Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam. Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah. Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini. Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.

Apakah makna mendalam dari tembang ini? Mari kita coba mengupas maknanya

-       Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.

-       Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.

-       Cah angon cah angon penekno blimbing kuwiMengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.

-       Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.

-       Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.

-       Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.

-       Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.

-       Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)


MAKNA FILOSOFIS LAGU CUBLAK-CUBLAK SUWENG

Cublak-cublak suweng,
suwenge teng gelenter,
mambu ketundhung gudhel,
pak empo lera-lere,
sopo ngguyu ndhelikake,
Sir-sir pong dele kopong, 
sir-sir pong dele kopong.


Lirik lagu diatas adalah lagu yang biasa dinyanyikan dalam permainan anak-anak di Jawa pada saat saya masih kecil. Saya masih sangat ingat, saat itu, kira-kira kami ber tujuh. Satu orang dalam posisi telungkup menutup mata, dan kami berenam duduk bersimpuh mengelilingi yang telungkup dengan tangan diatas punggungnya. Salah satu dari kami menyembunyikan batu kerikil yang akan ditebak oleh teman yang telungkup tadi.

Sebuah permainan yang biasa saya mainkan bersama teman-teman pada sore hari atau pada waktu sinar bulan terang menyinari kampung kami. Sepertinya sederhana dan biasa. Hanya sebuah lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak sebagai pengiring permainan. Namun dalam perjalanan setelah saya menyelami budaya Jawa, terutama pada waktu saya menggali literature serat Wulang Reh (yang akhirnya jadi buku Javanese Wisdom), dan juga Serat Niti Sruti (sedang saya persiapkan jadi sebuah buku baru seri Javanese Wisdom), mau tidak mau saya bersentuhan dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan filosofi Jawa. Memang ada beberapa versi lirik lagu Cublak-cublak Suweng ini. Beberapa daerah di Jawa mungkin mempunyai sedikit perbedaan dalam liriknya. Yang saya tuliskan disini adalah versi saya pada saat saya masih kecil menyanyikannya, dan tentunya saya masih hapal sampai sekarang.

Lagu ini, entah siapa yang menciptakan (saya tidak akan berpolemik siapa yang menciptakan, karena banyak versi tentang hal tersebut), bagi saya siapapun yang menciptakan telah menciptakan sebuah lirik filosofi kehidupan yang sangat dalam dan sarat akan pelajaran kemuliaan.

Saya akan mencoba menyelami arti filosofi dari lagu Cublak-Cublak Suweng ini secara bebas. Artinya saya akan bebas mengartikannya sesuai kesadaran saya saat ini dan sesuai dengan pemahaman saya atas ‘sanepo’ atau lambang yang sering digunakan oleh orang Jawa. Ya orang Jawa banyak menggunakan lambang untuk mengajarkan sesuatu.

Cublak-cublak suweng,
Cublak adalah tempat, dan Suweng adalah nama salah satu jenis perhiasan wanita (harta yang sangat berharga). Dalam lirik pertama digambarkan bahwa ‘ada sebuah tempat dimana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga


Suwenge teng gelenter,
Suwenge adalah nama jenis perhiasan tersebut atau harta yang sangat berharga tersebut. Teng Gelenter adalah berserakan dimana-mana, terdapat dimana-mana, ada disemua arah penjuru.


Mambu ketundhung gudhel,
Mambu adalah tercium. Ketundhung adalah dituju. Gudhel adalah sebutan anak Kerbau. Tercium yang kemudian dituju oleh anak Kerbau. Lirik ini menggambarkan adanya sebuah kabar yang didengar oleh orang bodoh atau orang yang tidak tahu (digambarkan sebagai Gudhel) . Orang-orang yang tidak tahu ini mendengar sebuah kabar yang kemudian menuju ke arah kabar tersebut.


Pak empo lera-lere,
Pak empo adalah gambaran dari orang-orang bodoh tersebut. Lera-lere adalah tengak-tongok kiri kanan. Lirik ini menggambarkan bahwa orang-orang bodhoh tersebut hanya tengak-tengok kiri-kanan tidak tahu apa-apa.


Sopo ngguyu ndhelikake,
Sopo ngguyu adalah siapa yang tertawa. Ndhelikake adalah menyembunyikan. Lirik ini menggambarkan bahwa ada yang menyembunyikan sesuatu dan tetap tertawa. Artinya ia tertawa bahwa tahu ada sesuatu yang disembunyikan.


Sir-sir pong dele kopong,
Pong adalah pengulangan kata dari dele kopong. Dele kopong adalah kedelai yang kosong tidak ada isinya. Lirik ini menggambarkan tentang kekosongan jiwa, kekosongan pikiran, kekosongan ilmu, dan juga Orang yang banyak bicara tapi sedikit ilmunya. Sedangkan Sir artinya hati nurani. Sir disini merupakan jawaban dari pertanyaan pertama diatas.


Mari kita rangkai lagu ini secara utuh:

Cublak-cublak suweng, suwenge teng gelenter, mambu ketundhung gudhel, pak empo lera-lere, sopo ngguyu ndhelikake, Sir-sir pong dele kopong, sir-sir pong dele kopong.

Kemudian mari kita maknai secara utuh agar kita mendapatkan keutuhan dari filosofi lagu ini:

Ada sebuah tempat, dimana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga (Cublak-cublak suweng). Namun walaupun ada tempatnya, harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana (suwenge teng gelenter).
Disini menjadi sebuah pertanyaan awal: bila ada sebuah tempat dan tempat tersebut menyimpan harta sangat berharga, sedangkan harta itu sendiri tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana. Tempat manakah itu? Tempat yang menyimpan harta namun hartanya terdapat dimana-mana. Lha kan aneh? Hartanya tersimpan disebuah tempat namun harta tersebut juga berada dimana-mana.

Sang penulis lagu ini sedang membeberkan konsep ‘keberlimpahan’ menjadi sebuah lagu sederhana. Mari kita cermati lebih lanjut. Suwenge teng gelenter yang menggambarkan bahwa harta yang sangat berharga tersebut tercecer dimana-mana, terdapat dimana-mana adalah sebuah gambaran keberlimpahan hidup. Disekeliling kita, kanan kiri atas bawah terdapat harta tersebut. Tentu saja ini sebuah berita yang mengejutkan bagi sebagian orang yang disini digambarkan sebagai ‘Gudhel’: Benarkah keberlimpahan hidup tidak jauh dari kita? Masak sih? Dimana tempatnya sehingga aku bisa mudah mengambilnya?

Berita tersebut memicu orang-orang bodoh, orang-orang berpengetahuan sempit (mambu ketundhung gudhel) untuk bergegas mencarinya. Mereka karena tidak dibekali pengetahuan jiwa maka walaupun banyak yang merasa menemukan harta yang mereka anggap berharga, tetap saja mereka masih merasa kurang dan selalu menengok kiri-kanan (pak empo lera-lere). Kesuksesan, materi, nama besar, jabatan, yang semua itu dianggap keberlimpahan tetap saja mengakibatkan bingung dan tidak puas. Mereka masih ‘pak empo lera-lere’. Pak empo lera-lere juga dapat menggambarkan penderitaan dari orang-orang bodoh yang merasa menemukan keberlimpahan tersebut.

Dibalik semua itu, ada orang-orang yang sudah menemukan keberlimpahan. Mereka yang sudah menemukan harta yang sangat berharga tersebut, melihat orang-orang yang selalu mengejar keberlimpahan palsu, mereka hanya tertawa saja (sopo ngguyu ndhelikake). Mereka tertawa seakan-akan menyembunyikan rahasia: eh bukan itu lho! Itu palsu! Itu hanya ilusi dunia!

Lalu yang terakhir, orang-orang bodoh ini, para Gudhel ini yang kemudian malah berkoar-koar sudah menemukan. Mereka banyak bicara, bahkan mengajarkan cara untuk menemukannya. Padahal ‘dele kopong’, dele kopong yaitu yang banyak bicara adalah orang tak berisi. Dele kopong bila dalam peribahasa Indonesia adalah Tong kosong nyaring bunyinyaKonsep keberlimpahan hidup dalam lagu Cublak-cublak Suweng ini sangat istimewa. Orang-orang bodoh selalu mencarinya keluar dari dirinya (mambu ketundhung gudhel) sehingga ia tetap merasa bingung dalam hidup (pak empo lera-lere). Sementara orang bijaksana (sopo ngguyu ndhelikake) menyadari bahwa tempat rahasia (cublak) yang merupakan tempat menyimpan harta sangat berharga (suweng) yang sekaligus membuat harta tersebut tersebar dimana-mana (suwenge teng gelenter) ada di dalam ‘Sir‘ (kata pertama dalam kalimat sir sir pong dele kopong), Sir adalah hati nurani manusia!

Di lain daerah, lirik terakhir ada yang berbunyi demikian:

Sir sir pong udele bodong, sir sir pong udele bodong
Lirik ini juga merupakan sebuah nasehat atau ‘jalan’ istimewa untuk menemukanCublak itu tadi. Bagaimana caranya menemukan tempat bagi harta yang sangat berharga tersebut? Yaitu sir pong udele bodong!

Sir adalah Hati Nurani, sedangkan pong udele bodong adalah sebuah ‘sasmita’ atau gambaran tentang wujud yang tidak memakai apa-apa sehingga udel atau pusarnya kelihatan. Telanjang atau orang yang tidak memakai artibut apa-apa adalah orang sederhana, rendah hati, mengedepankan rasa dan selalu memuliakan orang lain. Yang akan menemukan ‘Cublak’ tersebut adalah orang yang polos, tidak memakai atribut, tidak memakai ego kepemilikan dan kemelekatan, dan itu bukanlah para Gudhel! Ia sekali lagi adalah para pong udele bodong, yaitu orang-orang polos, sederhana, dan bersih hatinya.


Semoga bermanfaat sobat...