Kelompok
santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama
sesuai dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa
muslim yang mempraktikan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila
dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti
kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan
Animisme.
Pada awalnya Islam masuk ke
Indonesia melalui pedagang-pedangang dari Gujarat, India. Walaupun Islam
menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi Islam di Indonesia telah
terputus dari pusat pancarannya di timur tengah, Mekkah dan Kairo. Akibatnya,
umat Islam di Indonesia tetap saja banyak dipengaruhi oleh kultur Hindu-Jawa.
Barulah pada menjelang pertengahan abad sembilan belas isolasi Islam
Indonesia dari timur tengah itu mulai pecah dengan datang pedagang-pedagang
Islam dari ujung selatan Semenanjung Arab, Hadramaut. Mereka menyiarkan
pengertian ortodoksi mereka yang bagus kepada para pedangang setempat yang
terikat hubungan perdagangan dengan mereka. Namun demikian, arus ke arah
ortodoksi dalam fase ini adalah lambat. Persaudaraan keagamaan diwarnai secara
mistis dimana diperolah suatu kompromi tertentu dengan kaum abangan di
satu pihak.
Dengan didirikannya Muhammadiyah telah membangunkan gerakan-gerakan konservatif
untuk melawan apa yang mereka anggap penyimpangan yang berbahaya dari doktrin
Islam zaman pertengahan.
Perbedaan Umum
Dalam melakukan penelitiannya
mengenai Islam Indonesia khususnya di Jawa ini, akhirnya Geertz memperolah dua
perbedaan yang sangat mencolok dari santri dan abangan. Ia mengatakan bahwa
kaum abangan sangat tidak mempedulikan doktrin-doktrin agama dan lebih senang
melarutkan diri dalam detail ritual. Sedangkan santri sebaliknya menjadikan
doktrin sebagai pegangan utama dalam kehidupan dan memberikan sikap yang tak
toleran secara tegas kepada praktik keuparacaan. Peribadatan, bagi santri
adalah hal sederhana saja, yang terpenting menurut merekan adalah doktrin
Islam, terutama sekali penafsiran moral dan sosialnya. Kaum santri di perkotaan
nampaknya sangat tertarik untuk menjadikan doktrin Islam sebagai kode etik yang
lebih tinggi bagi orang modern, sebagai doktrin sosial yang cocok untuk
masyarakat modern. Santri di pedesaan, walaupun tidak seekstrem santri di
perkotaan, tetap saja memiliki sikap sama. Betapapun kaburnya. Kaum abangan
beranggapan sikap mereka tidak jauh berbeda dengan para ahli etnologi pecinta
budaya yang mengumpulkan adat tua tentang penyembahan berhala. Kaum santri
menanggapinya justru dengan titik berat yang kuat pada keharusan iman dan
keyakinan yang tanpa reserve terhadap kebenaran mutlak agama islam serta
menentang dengan tegas praktek kejawen.
Perbedaan kedua yang tampak jelas antara varian keagamaan abangan dan santri
terletak dalam kesatuan sosialnya. Unit sosial yang yang paling dasar bagi
abangan adalah rumah tanggan. Dalam unit sosial itulah tempat ritual
peribadatan dilakukan. Bahkan dalam acara bersih desa yang merupakan acara
publik pun, rumah tanggan tetap yang terutama. Penganan yang disajikan dalam
acara itu diperoleh dari masing-masing daput setiap rumah tangga yang dijadikan
satu. Bukan dihasilkan dari satu dapur yang diolah bersama-sama. Tidak ada hal
lain dalam acara publik itu, kecuali keharusan datang dengan membawa penganan
dari dapur sendiri. tidak ada perkauman keagamaan yang organis. Yang ada hanya
serangkaian rumah terpisah yang dirangkai satu sama yang lain dan menjadi
kauman bersama tanpa sekat, dan harmoni mereka bertahan sejak semula dengan
satu tradisi tunggal.
Sebaliknya, rasa perkauman –terhadap umat- dalam masyarakat santri adalah yang
utama. Unit sosial mereka adalah komunitas. Lebih besar dari sekedar rumah tangga.
Islam dilihat sebagai serangkaian lingkaran sosial yang konsentris serta
terikat dalam doktrin agama. Semua manusia di Mata Tuhan adalah sama dan
sederajat. Terdapat jurang pemisah yang mutlak untuk bisa berhubungan langsung
dengan Tuhan dan oleh karena itu hanya terbatas pada kitab dari para Nabi, dan
khususnya dari Quran dan Hadist. Untuk mengenal Tuhan, kaum santri mengikatkan
diri menjadi suatu kaum menurut hukum, yang ditentukan oleh ketaatannya kepada
serangkaian hukum objektif yang didasarkan atas wahyu Allah yang telah
dipertimbangkan kesesuaiannya untuk dikomunikasikan kepada manusia. Tak ada
seorangpun yang nampak lebih tinggi derajat keagamaannya, tetapi terdapat guru
ataupun mereka yang memiliki lebih banyak ilmu. Hukum adat yang lebih fleksibel
dalam praktek cenderung lebih menarik bagi abangan maupun santri. Namun
demikian, santri memiliki gambaran yang riil tentang suatu masyarakat nyata
yang diatur oleh sistem hukum objektif.
Adanya perhatian terhadap masyarakat ini yang menunjukkan bahwa selain
ketertarikan santri akan doktrin, mereka tak pernah memandang bahwa agama hanya
urusan kepercayaan saja. Atau semacam filsafat. Sebaliknya mereka senantiasa
memahami Islam sebagai agama yang dilembagakan dalam kelompok sosial. Berbicara
akan Islam berarti berbicara tentang organisasi sosial dimana kepercayaan Islam
menjadi elemen yang mendasari dan menentukannya.